Senin, 05 Mei 2025

Sunscreen Aerosol Anti Ribet, Bagaimana Kualitas Proteksinya Terhadap Kulit?

Sumber : anessa.id

Sunscreen telah menjadi bagian penting dari rutinitas perawatan kulit, terutama di tengah kesadaran akan bahaya sinar UV yang meningkat. Produk tabir surya hadir dalam berbagai bentuk: krim, gel, lotion, stick, hingga yang belakangan semakin populer—sunscreen dalam bentuk aerosol spray. Sunscreen aerosol disebut-sebut sebagai solusi praktis bagi mereka yang ingin melindungi kulit tanpa ribet. Tapi, seberapa efektifkah proteksinya dibandingkan dengan sunscreen konvensional?

Praktis dan Cepat Digunakan

Keunggulan utama sunscreen aerosol tentu terletak pada kemudahannya. Dengan hanya menyemprotkan ke permukaan kulit, produk ini bisa merata dalam waktu singkat tanpa harus menyentuh kulit langsung. Ini sangat membantu terutama bagi mereka yang sering beraktivitas di luar ruangan atau sedang terburu-buru.

Selain itu, aerosol juga lebih higienis karena mengurangi kontak tangan langsung dengan wajah atau tubuh. Bahkan, beberapa sunscreen aerosol memiliki formula transparan yang tidak meninggalkan bekas putih (white cast) dan cepat meresap ke kulit, cocok untuk semua warna kulit.

Efektivitas Proteksi UV

Meski praktis, banyak yang bertanya-tanya soal efektivitas sunscreen aerosol dalam melindungi kulit. Pada dasarnya, kualitas proteksi sunscreen—baik aerosol maupun non-aerosol—tergantung pada kandungan bahan aktif dan tingkat SPF (Sun Protection Factor) serta PA (Protection Grade of UVA).

Banyak produk aerosol yang menawarkan SPF tinggi (30–50+) dan perlindungan spektrum luas (broad spectrum), yang berarti mampu melindungi dari sinar UVA dan UVB. Ini artinya, secara teori, proteksi yang diberikan bisa setara dengan sunscreen krim atau lotion.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaiannya. Salah satu tantangan dari sunscreen aerosol adalah potensi pengaplikasian yang tidak merata. Semprotan yang terlalu cepat atau dari jarak yang terlalu jauh bisa menyebabkan area kulit tertentu tidak mendapatkan perlindungan maksimal. Oleh karena itu, penting untuk menyemprot dengan jarak sekitar 10–15 cm dari kulit dan memastikan seluruh area tertutup, bahkan jika perlu diratakan dengan tangan setelah penyemprotan.

Ideal untuk Touch-Up, Tapi Bukan Pengganti Utama?

Sunscreen aerosol sering direkomendasikan untuk reapplication atau touch-up, terutama di siang hari saat kulit mulai berkeringat atau setelah berenang. Karena ringan dan cepat kering, pengguna bisa menyemprot ulang tanpa merusak riasan wajah atau harus mencuci tangan lebih dulu.

Namun, untuk aplikasi pertama di pagi hari, sunscreen berbentuk lotion atau krim tetap dianggap lebih optimal karena biasanya lebih tebal dan memberi lapisan proteksi awal yang lebih stabil di kulit.

Apakah Aman?

Sunscreen aerosol umumnya aman digunakan, selama tidak disemprotkan langsung ke wajah atau dihirup dalam jumlah banyak. Untuk wajah, sebaiknya semprotkan dulu ke tangan lalu ratakan ke kulit wajah. Selain itu, gunakan di area dengan ventilasi baik agar partikel tidak terhirup berlebihan.


Sunscreen aerosol adalah pilihan modern yang sangat praktis, cocok untuk gaya hidup aktif dan mobilitas tinggi. Jika digunakan dengan benar, proteksi yang diberikan bisa setara dengan sunscreen tradisional. Meski begitu, pemahaman cara pemakaian yang tepat tetap penting agar kulit benar-benar terlindungi. 

Tampil Elegan dan Kasual dengan Flat Shoes Kekinian

Sumber : productnation.co

Flat shoes atau sepatu tanpa hak telah lama menjadi pilihan favorit banyak wanita. Nyaman, ringan, dan praktis—itulah tiga alasan utama mengapa sepatu ini selalu punya tempat di hati penggunanya. Namun, jangan salah mengira bahwa flat shoes hanya cocok untuk tampilan santai atau sederhana. Dengan model yang semakin variatif dan desain yang makin modern, flat shoes kekinian justru mampu menunjang penampilan elegan sekaligus kasual dalam berbagai kesempatan.

Di era fashion yang serba fleksibel dan dinamis seperti sekarang, memiliki sepasang flat shoes berkualitas bisa menjadi solusi gaya yang fungsional tanpa mengorbankan estetika. Lalu, bagaimana flat shoes bisa menyulap tampilan agar tetap elegan namun tetap nyaman?

Elegan Tanpa Ribet

Salah satu kekuatan flat shoes modern terletak pada desainnya yang kini semakin sophisticated. Banyak brand lokal maupun internasional menghadirkan model flat shoes dengan sentuhan elegan, seperti detail pita, aksen logam, hingga bahan suede dan kulit sintetis yang memberikan kesan mewah.

Misalnya, flat shoes dengan bentuk pointed toe (ujung meruncing) bisa memberikan ilusi kaki lebih panjang dan ramping, sehingga tampilan terlihat lebih formal meski tanpa hak tinggi. Padukan dengan dress selutut, rok pensil, atau celana bahan dan blazer, dan kamu siap menghadiri acara semi-formal atau pertemuan kerja dengan tetap terlihat profesional.

Warna-warna netral seperti nude, hitam, cokelat tua, atau navy juga bisa menjadi pilihan aman untuk menciptakan kesan elegan yang tak lekang oleh waktu.

Kasual dan Tetap Stylish

Tak hanya untuk tampilan formal, flat shoes juga sangat cocok digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Berkat ragam model kekinian, seperti loafers, mary jane, slip-on, atau espadrilles, kamu bisa menyesuaikannya dengan gaya personal dan aktivitas harianmu.

Untuk tampilan kasual, cukup padukan flat shoes dengan jeans high-waist dan kemeja longgar, atau dengan rok midi dan kaus polos. Pilihan warna cerah seperti pastel, putih, atau motif floral juga bisa menambahkan kesan segar dan muda pada penampilan.

Beberapa brand bahkan mengembangkan flat shoes dengan sol empuk dan material breathable, menjadikannya ideal untuk kamu yang aktif bergerak atau bepergian jauh.

Fleksibel dan Ramah Aktivitas

Flat shoes memang dikenal sebagai sahabat terbaik bagi wanita aktif. Tidak hanya nyaman digunakan dalam waktu lama, sepatu ini juga mudah dipadukan dengan berbagai outfit. Dari suasana kantor, kafe, hingga jalan-jalan santai di pusat perbelanjaan—flat shoes mampu menyesuaikan diri tanpa menghilangkan gaya.

Selain itu, banyak brand lokal kini menawarkan flat shoes dengan desain yang up-to-date dan harga terjangkau. Dengan kualitas yang tidak kalah dari brand luar, kamu bisa tampil gaya sekaligus mendukung produk dalam negeri.


Flat shoes kekinian membuktikan bahwa tampil elegan tidak harus selalu menggunakan high heels, dan tampil kasual tidak harus berarti asal-asalan. Dengan pemilihan model, warna, dan bahan yang tepat, flat shoes bisa menjadi fashion item andalan yang menyatukan kenyamanan dan keindahan dalam satu langkah. 

Budaya Jalan Kaki Menjadi Hal Istimewa di Indonesia, Sedangkan di Jepang adalah Hal Lumrah

 

Sumber : japantrips.id

Jalan kaki, aktivitas yang sederhana dan menyehatkan ini ternyata memiliki makna yang sangat berbeda di dua negara Asia: Indonesia dan Jepang. Di Jepang, jalan kaki adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang dianggap lumrah dan bahkan membentuk budaya masyarakatnya. Namun di Indonesia, jalan kaki justru sering dianggap sebagai aktivitas yang “istimewa” atau bahkan “tidak biasa” bagi sebagian besar penduduk, terutama di kota-kota besar.

Fenomena ini menarik untuk dikaji. Mengapa budaya jalan kaki begitu mengakar dalam keseharian masyarakat Jepang, sementara di Indonesia masih menjadi sesuatu yang kurang umum?

Jepang: Jalan Kaki sebagai Bagian dari Gaya Hidup

Di Jepang, jalan kaki adalah bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian. Anak-anak sejak usia dini terbiasa berjalan kaki ke sekolah tanpa diantar orang tua. Masyarakat Jepang dari berbagai usia pun kerap berjalan kaki ke stasiun, ke tempat kerja, atau sekadar berbelanja. Bahkan, berjalan sejauh 1–2 kilometer dianggap hal yang sangat wajar.

Hal ini didukung oleh infrastruktur kota yang ramah pejalan kaki: trotoar lebar dan bersih, penyeberangan yang aman, serta transportasi publik yang terintegrasi. Budaya disiplin dan tepat waktu juga membuat masyarakat Jepang lebih memilih berjalan kaki ketimbang terjebak kemacetan.

Selain itu, kesadaran akan kesehatan dan lingkungan juga tinggi. Jalan kaki bukan hanya cara untuk beraktivitas, tetapi juga bentuk gaya hidup sehat dan efisien.

Indonesia: Jalan Kaki Bukan Prioritas

Sebaliknya, di Indonesia—terutama di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan—jalan kaki sering kali bukan pilihan utama. Banyak orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, bahkan untuk jarak yang relatif dekat. Jalan kaki justru dianggap sebagai opsi terakhir jika tidak ada kendaraan, atau bahkan dipandang sebelah mata.

Hal ini diperparah oleh infrastruktur yang tidak mendukung: trotoar sempit, rusak, atau digunakan oleh pedagang kaki lima dan pengendara motor. Belum lagi minimnya rasa aman dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Berjalan kaki di tengah polusi, terik matahari, dan risiko kecelakaan membuat orang enggan melakukannya.

Menariknya, saat ada program car free day atau kampanye “jalan kaki sehat,” barulah aktivitas ini menjadi sesuatu yang dianggap spesial. Kegiatan yang seharusnya bisa dilakukan setiap hari justru menjadi acara akhir pekan yang hanya dilakukan sesekali.

Perbedaan Perspektif dan Budaya Mobilitas

Salah satu penyebab utamanya adalah perbedaan dalam membangun budaya mobilitas. Di Jepang, berjalan kaki adalah bagian dari sistem transportasi yang dirancang matang dan terintegrasi. Sementara di Indonesia, sistem transportasi publik masih dalam tahap pengembangan dan belum sepenuhnya terhubung dengan baik ke kawasan perumahan atau tempat kerja.

Selain itu, gaya hidup konsumtif dan simbol status juga berperan. Kendaraan pribadi masih dianggap sebagai simbol keberhasilan, sedangkan berjalan kaki kadang dipandang sebagai “tidak mampu.”


Jalan kaki seharusnya menjadi hal biasa dan positif di mana pun, bukan sesuatu yang dianggap istimewa atau hanya tren sesaat. Belajar dari Jepang, Indonesia bisa mulai membangun budaya jalan kaki dengan memperbaiki infrastruktur, memberikan edukasi, dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap mobilitas. Karena pada akhirnya, berjalan kaki bukan hanya soal jarak, tapi juga soal kesehatan, kesadaran lingkungan, dan kualitas hidup.

Era Serba Modern Namun Weton Masih Menjadi Kepercayaan Valid, Apa Penyebabnya?

Sumber : okinews.bacakoran.co

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan modernisasi kehidupan, masyarakat Indonesia—khususnya di wilayah Jawa—masih mempertahankan berbagai tradisi leluhur, salah satunya adalah kepercayaan terhadap weton. Dalam budaya Jawa, weton adalah sistem penanggalan yang menggabungkan kalender Jawa dan kalender masehi, yang diyakini mampu memberikan informasi tentang karakter, jodoh, rezeki, hingga nasib seseorang.

Yang menarik, meski hidup di era serba digital, kepercayaan terhadap weton tidak memudar, bahkan tetap dianggap valid dan penting dalam berbagai keputusan hidup, seperti memilih hari baik untuk menikah, memulai usaha, atau menentukan arah hidup. Lalu, apa yang membuat weton tetap bertahan dan dipercaya oleh masyarakat modern?

Warisan Budaya yang Mengakar Kuat

Kepercayaan terhadap weton bukan sekadar tradisi, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas budaya Jawa yang diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak keluarga masih mengajarkan pentingnya memahami weton kepada anak cucu mereka sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai leluhur. Dalam masyarakat yang masih menghormati adat, weton dianggap bukan takhayul, melainkan panduan hidup yang terbukti membawa keharmonisan dan ketenangan.

Kombinasi Spiritual dan Psikologis

Di balik tradisi ini, terdapat unsur spiritual yang membuat weton terasa relevan. Banyak orang percaya bahwa setiap manusia memiliki "energi" atau "aura" tertentu yang bisa dikenali melalui weton-nya. Hal ini memberikan rasa kepastian dan kontrol terhadap hal-hal yang sulit dijelaskan secara logika, seperti kecocokan pasangan atau nasib usaha.

Dari sisi psikologi, weton juga memberi efek sugesti yang positif. Ketika seseorang meyakini hari tertentu membawa keberuntungan, ia cenderung bertindak lebih percaya diri dan optimis—dua hal yang memang diperlukan dalam meraih keberhasilan. Efek ini secara tidak langsung memperkuat keyakinan bahwa weton “berfungsi”.

Adaptasi dengan Teknologi

Menariknya, kepercayaan terhadap weton tidak tergilas oleh zaman, melainkan beradaptasi dengannya. Kini, perhitungan weton bisa dilakukan dengan mudah lewat aplikasi smartphone atau situs daring. Banyak konten kreator juga membahas weton di YouTube dan TikTok, menjadikannya lebih mudah diakses dan diterima oleh generasi muda.

Ini menunjukkan bahwa meskipun media penyampaiannya berubah, esensi weton tetap hidup dan bahkan menjangkau audiens yang lebih luas. Anak-anak muda yang hidup di era digital pun mulai penasaran dengan makna weton-nya dan mencari pemahaman baru tentang dirinya melalui perspektif budaya.

Mencari Keseimbangan di Tengah Ketidakpastian

Hidup di zaman modern sering kali identik dengan stres, persaingan tinggi, dan ketidakpastian. Dalam kondisi ini, kepercayaan tradisional seperti weton bisa menjadi pegangan yang menenangkan. Bagi banyak orang, weton adalah cara untuk memahami diri, menjalin relasi yang lebih baik, dan membuat keputusan hidup yang dirasa lebih bijak.


Kepercayaan terhadap weton tetap bertahan karena ia bukan hanya tradisi, tetapi juga cermin dari kebutuhan manusia untuk memahami hidup secara lebih mendalam. Di era modern sekalipun, nilai-nilai budaya dan spiritual tetap relevan selama mampu beradaptasi dan memberi makna. Weton, bagi sebagian besar masyarakat, bukan sekadar angka atau hari lahir—melainkan kearifan lokal yang menyatu dengan cara mereka memandang dunia.

Minggu, 04 Mei 2025

Acara TV yang Mengedukasi Semakin Berkurang, Minat Penonton Beralih ke Acara Gosip

Sumber : merdeka.com

Televisi dahulu menjadi salah satu sumber utama informasi dan edukasi masyarakat. Beragam acara dokumenter, kuis pengetahuan, hingga tayangan bertema budaya dan sains pernah mendominasi layar kaca. Namun, belakangan ini terjadi pergeseran signifikan dalam dunia pertelevisian Indonesia. Tayangan edukatif kian langka, digantikan oleh acara hiburan ringan, khususnya acara gosip yang menyasar kehidupan selebriti dan isu viral.

Fenomena ini memunculkan kekhawatiran tentang menurunnya kualitas tontonan masyarakat, khususnya di kalangan anak muda dan remaja. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Menurunnya Tayangan Edukatif

Jika menilik kembali acara-acara televisi pada era 1990-an hingga awal 2000-an, kita bisa menyebutkan banyak tayangan edukatif yang tidak hanya informatif, tetapi juga menghibur. Sebut saja "Kata Berkait", "Si Bolang", "Laptop Si Unyil", hingga dokumenter alam di TVRI atau Metro TV yang membahas sains dan budaya lokal.

Kini, acara-acara semacam itu semakin sulit ditemukan pada jam tayang utama (prime time). Stasiun TV lebih banyak menayangkan sinetron, variety show, dan acara gosip yang dinilai lebih “menjual” dan menarik rating tinggi. Akibatnya, acara dengan nilai pendidikan perlahan tersingkir ke jam tayang tak strategis atau bahkan dihentikan sama sekali.

Gosip Sebagai Konsumsi Populer

Tak bisa dipungkiri, acara gosip memiliki daya tarik tersendiri. Cerita mengenai kehidupan pribadi selebriti, konflik, dan drama membuat penonton merasa terhibur sekaligus penasaran. Format yang ringan, penuh sensasi, dan dikemas dengan gaya santai membuat acara gosip mudah dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat.

Sayangnya, tayangan seperti ini sering kali menitikberatkan pada konflik, isu pribadi yang belum tentu terverifikasi, hingga narasi negatif yang bisa menimbulkan persepsi keliru. Meskipun menarik secara hiburan, tayangan jenis ini minim kontribusi terhadap pengayaan wawasan penonton.

Perubahan Selera dan Budaya Konsumsi Media

Perubahan pola konsumsi media juga turut memengaruhi minat masyarakat terhadap tayangan edukatif. Gen Z dan milenial kini lebih banyak beralih ke platform digital seperti YouTube, TikTok, dan podcast untuk mencari konten informatif. Di sisi lain, televisi berusaha mengejar rating dengan memprioritaskan program yang cepat menarik perhatian meski tidak selalu berkualitas.

Stasiun TV pun menghadapi dilema: mempertahankan idealisme program edukatif dengan risiko minim penonton, atau menyajikan hiburan ringan yang laris manis tetapi kurang mendidik.

Harapan Akan Perubahan

Meski acara edukatif berkurang, bukan berarti harapan itu hilang. Beberapa program seperti "Kick Andy", "Mata Najwa", dan dokumenter lokal masih menjadi contoh bahwa edukasi dan hiburan bisa berjalan beriringan. Namun, perlu dukungan dari masyarakat untuk kembali menghargai dan menuntut tayangan berkualitas.

Peran pemerintah dan lembaga penyiaran juga krusial dalam memastikan adanya kebijakan tayangan yang seimbang, termasuk memberikan ruang untuk program-program edukatif yang kreatif dan menarik.


Berkurangnya tayangan edukatif di televisi merupakan cerminan dari pergeseran minat penonton dan tekanan industri media. Di tengah dominasi acara gosip, penting bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih tontonan, serta mendorong hadirnya program yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerdaskan. Karena pada akhirnya, apa yang kita tonton turut membentuk cara berpikir dan budaya bangsa.

Brand Sepatu Lokal Tak Kalah Saing dengan Brand Luar

Sumber : mldspot.com

Dulu, produk sepatu lokal sering kali dipandang sebelah mata dan dianggap kalah kualitas dibanding brand luar negeri. Namun, anggapan tersebut kini mulai memudar. Dalam beberapa tahun terakhir, brand sepatu lokal Indonesia menunjukkan perkembangan pesat, baik dari segi desain, kualitas, maupun strategi pemasaran. Bahkan, beberapa brand lokal berhasil menembus pasar internasional dan mendapatkan pengakuan global. Jadi, apakah sepatu lokal benar-benar bisa bersaing? Jawabannya: ya, dan mereka bahkan telah membuktikannya.

Inovasi dan Desain yang Relevan

Salah satu kekuatan utama brand sepatu lokal masa kini adalah kemampuannya mengikuti tren dan menghadirkan desain yang relevan dengan gaya hidup anak muda. Brand seperti Compass, Pijakbumi, dan Brodo menawarkan model yang tak hanya nyaman, tetapi juga estetis dan stylish. Desain minimalis, retro, hingga streetwear menjadi andalan yang membuat sepatu lokal cocok dipadupadankan dengan berbagai outfit kekinian.

Tak hanya itu, brand lokal kini lebih berani mengeksplorasi identitas budaya Indonesia. Contohnya, Pijakbumi mengangkat nilai-nilai keberlanjutan dan kearifan lokal dalam desainnya. Hasilnya adalah produk yang tak hanya enak dipakai, tapi juga membawa nilai lebih dalam hal storytelling dan filosofi.

Kualitas Material yang Kompetitif

Dulu, perbedaan kualitas antara sepatu lokal dan brand luar cukup terasa. Namun kini, banyak brand lokal menggunakan material premium seperti kulit asli, kanvas berkualitas tinggi, dan sol dengan teknologi modern yang mampu bersaing dengan sepatu impor. Proses produksi juga dilakukan dengan lebih teliti, beberapa bahkan dikerjakan secara handmade atau semi-handmade untuk menjaga presisi dan kenyamanan.

Brodo, misalnya, dikenal sebagai pelopor sepatu kulit lokal dengan kualitas pengerjaan yang rapi dan tahan lama. Mereka juga terus berinovasi dalam penggunaan material yang ramah lingkungan dan meningkatkan standar produksi.

Harga yang Lebih Terjangkau

Salah satu keunggulan sepatu lokal adalah harga yang relatif lebih terjangkau dibandingkan brand luar dengan kualitas setara. Hal ini membuat produk lokal menjadi alternatif menarik bagi konsumen yang ingin tampil gaya tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Dengan harga mulai dari Rp300 ribu hingga Rp1 jutaan, konsumen sudah bisa mendapatkan sepatu yang trendi dan tahan lama.

Dukungan Komunitas dan Media Sosial

Kebangkitan brand sepatu lokal juga tidak lepas dari dukungan komunitas dan peran media sosial. Generasi muda Indonesia kini lebih sadar akan pentingnya mendukung produk dalam negeri. Kampanye seperti #BanggaBuatanIndonesia dan kolaborasi kreatif dengan musisi, seniman, atau influencer lokal turut memperkuat eksistensi brand lokal di tengah ketatnya persaingan pasar.

Beberapa brand bahkan berhasil menciptakan hype yang setara dengan brand global, seperti Compass yang sempat viral karena antrian panjang saat rilis produk edisi terbatas.


Brand sepatu lokal telah berkembang jauh dari sekadar “alternatif murah.” Mereka kini berdiri sejajar dengan brand internasional dalam hal kualitas, desain, dan nilai. Dengan semangat inovatif, kearifan lokal, dan dukungan masyarakat, sepatu lokal Indonesia siap bersaing, tidak hanya di pasar domestik, tapi juga di kancah global.

Takut Menikah di Kalangan Gen Z Makin Marak, Apa Penyebabnya?

Sumber : kompas.com

Fenomena takut menikah atau gamophobia kini semakin banyak ditemukan di kalangan Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an. Di media sosial, pernyataan seperti “menikah bukan prioritas,” “lebih baik sendiri,” atau “pernikahan itu menakutkan” semakin sering muncul dari mereka yang masih berusia muda. Tren ini menandakan adanya pergeseran cara pandang terhadap institusi pernikahan dibandingkan generasi sebelumnya. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab ketakutan terhadap pernikahan ini?

Trauma Keluarga dan Pengalaman Buruk

Banyak Gen Z yang tumbuh dalam keluarga yang penuh konflik atau menyaksikan langsung keretakan rumah tangga orang tua mereka. Perceraian yang meningkat dalam beberapa dekade terakhir telah meninggalkan jejak emosional yang dalam. Tak sedikit dari mereka yang menganggap pernikahan sebagai sumber penderitaan, bukan kebahagiaan. Ketakutan akan mengulang kesalahan yang sama menjadi alasan kuat mereka memilih untuk menjauhi pernikahan.

Tekanan Ekonomi

Kondisi ekonomi yang tidak stabil juga menjadi faktor utama. Biaya hidup yang tinggi, harga rumah yang melonjak, serta sulitnya mencari pekerjaan yang layak membuat banyak Gen Z merasa belum siap secara finansial untuk membangun rumah tangga. Alih-alih menikah, mereka lebih memilih fokus pada karier dan kestabilan ekonomi pribadi terlebih dahulu.

Selain itu, mereka sadar bahwa pernikahan bukan sekadar soal cinta, tetapi juga menyangkut tanggung jawab ekonomi yang besar. Konsep “menikah harus mapan” masih kuat di kalangan masyarakat, sehingga banyak anak muda merasa tertekan oleh standar tersebut.

Perubahan Nilai dan Prioritas Hidup

Gen Z dikenal sebagai generasi yang lebih individualistis dan terbuka terhadap berbagai bentuk kebebasan hidup. Mereka lebih menghargai waktu untuk mengenal diri sendiri, mengeksplorasi minat dan passion, serta membangun kehidupan yang bermakna secara personal. Pernikahan sering kali dianggap bisa menghambat kebebasan itu.

Ditambah lagi, konsep keluarga tidak lagi selalu berarti pernikahan tradisional. Beberapa dari mereka lebih terbuka pada alternatif seperti cohabitation (tinggal bersama tanpa menikah) atau memilih hidup tanpa pasangan tetap.

Pengaruh Media Sosial dan Informasi

Media sosial menjadi platform yang sangat mempengaruhi pandangan Gen Z. Di satu sisi, mereka melihat banyak kisah pernikahan yang bahagia. Namun di sisi lain, tak sedikit juga kisah kegagalan, perselingkuhan, dan tekanan dalam rumah tangga yang viral dan membentuk opini negatif terhadap pernikahan.

Gen Z juga lebih mudah mengakses berbagai informasi mengenai kesehatan mental dan hubungan toksik. Kesadaran ini membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan besar, seperti menikah.


Takut menikah di kalangan Gen Z bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari perubahan sosial, ekonomi, dan nilai-nilai hidup yang berkembang. Mereka bukan tidak menghargai pernikahan, tetapi lebih selektif dan realistis dalam memandangnya. Ketimbang terburu-buru menikah karena tekanan sosial, Gen Z lebih memilih menunggu waktu yang tepat dan pasangan yang benar-benar sejalan.

Sunscreen Aerosol Anti Ribet, Bagaimana Kualitas Proteksinya Terhadap Kulit?

Sumber : anessa.id Sunscreen telah menjadi bagian penting dari rutinitas perawatan kulit, terutama di tengah kesadaran akan bahaya sinar UV...